Sabtu, 30 Mei 2015

Makala Cinta Sesama Muslim Sebagian Dari Iman



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sudah menjadi keyakinan bahwa sumber utama syari’at Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadist. Selain yang telah di tegaskan al-Qur’an sendiri, juga dalam berbagai hadis Rasulullah menuntun agar umat islam berpegang teguh kepada ke dua sumber tersebut.

Sejalan dengan perkembangan waktu, umat manusia juga menghadapi berbagai permasalahan yang harus di sikapi dan di jalankan dengan baik. Maka bagi umat islam, permasalahan yang timbul kapan dan di manapun maka harus di kembalikan kepada pegangan hidup mereka yang telah di tetapkan, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Dan oleh sebab itu, kami sebagai pemakalah ingin memaparkan apa-apa saja sikap yang harus kita terapkan dalam kehidupan kita. begitupun dalam kehidupan sehari-hari karna sesungguhnya begitu banyak penerapan- penerapan hadis yang di ajarkan Rasullullah . kita sebagai umat muslim patut untuk mencontoh jejak-jejak rasullullah Saw, dan dengan begitu maka kita pantas di katakan sebagai umat Nabi saw.

B.     Rumusan Masalah
1.      Kenapa cinta sesama muslim sebagian dari iman?
2.      Bagaimana ciri seorang muslim yang tidak mengganggu orang lain?
3.      Bagaimana realisasi iman dalam menghadapi tamu?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Kita bisa mengetahui kenapa cinta sesama muslim itu sebagian dari iman
2.      Kita bisa mengetahui bagaimana ciri-ciri seorang muslim yang tidak mengganggu orang lain
3.      Kita bisa mengetahui bagaimana realisasi iman dalam menghadapi tamu



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Cinta Sesama Muslim Sebagian Dari Iman

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .(رواه البخاري ومسل وأحمد والنسائى)                                       
            “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i)
Seorang mukmin yang ingin mendapat ridho dari Allah SWT, harus berusaha untuk  melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhoi-Nya. Salah satunya adalah mencintai sesame saudara seiman seperti ia mencintai dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam hadist diatas.
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Di sisi lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.
Hadist diatas juga menggambarkan bahwa islam sangat menghargai persaudaraan dalam arti yang sebenarnya. Persaudaraan yang datang dari hati nurani yang dasarnya keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah SWT.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي. (رواه مسلم(
Pada hari kiamat Allah SWT. akan berfirman: ‘dimanakah orang yang saling terkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan, kecuali naungan-Ku. (H.R. Muslim)

Orang yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang bahwa dirinya merupakan salah satu anggota masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan untuk kebahagian bersama. Apapun yang dirasakan saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia anggap sebagai kebahagiaan atau kesengsaraannya juga. Dengan demikian, terjadi keharmonisan hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan.

Persaudaraan seperti itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia sesalu siap menolong saudaranya seiman tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar disisi Allah SWT, yakni memberikan sesuatu yang sangat dicintainya kepada saudaranya, tanpa membedakan antara saudara seiman dengan dirinya sendiri.
Allah swt. berfirman dalam QS. Ali Imran (3): 92, yang artinya:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

Sebaliknya, orang-orang mukmin yang egois, yang hanya mementingkan kebahagian dirinya sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki keimanan yang sesungguhnya. Hal ini karena perbuatan seperti itu merupakan perbuatan orang kufur dan tidak disukai oleh Allah SWT. Tidaklah cukup dipandang mukmin yang taat sekalipun khusyuk dalam shalat atau melaksanakan semua rukun Islam bila ia tidak peduli terhadap nasib saudaranya seiman.

Namun demikian, dalam mencintai seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus didasari Illah. Oleh karena itu, harus tetap memperhatikan  rambu-rambu syara’. Tidak benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman sehingga ia mau menolong saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa kepada Allah swt.

Sabaiknya, dalam mencintai sesama muslim, harus mengutamakan saudara-saudara seiman yang betul-betul taat kepada Allah SWT. Rasulullah saw, memberikan contoh siapa saja yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni mereka yang berilmu, orang-orang terkemuka, orang-orang yang suka berbuat kebaikan, dan lain-lain.

Salah satu tanda kesempurnaan iman seorang mukmin adalah mencintai saudaranya seabagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal itu direalisasikan dalam kehidupannya sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan merasakan kesusahan maupun kebahagian saudaranya seiman yang didasarkan atas keimanan yang teguh kepada Allah SWT.

Dia tidak berpikir panjang untuk menolong saudaranya sekalipun sesuatu yang diperlukan saudaranya adalah benda yang paling dicintai. Sikap ini timbul karena ia merasakan adanya persamaan antara dirinya dan saudaranya seiman.

B.     Ciri Seorang Muslim Tidak Mengganggu Orang lain                                                
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ ص.م. قَالَ : اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ , اَلْمُهَجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
﴿ رواه البخارى وابو داود والنسائ ﴾
Abdullah bin Umar berkata bahwa Nabi SAW telah bersabda : “Seorang muslim adalah orang yang menyebabkan orang-orang Islam (yang lain selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Alah SWT.” (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Hadits di atas mengandung dua pokok bahasan, yakni tentang hakikat seorang muslim, dalam membina hubungan dengan sesama muslim dalam kehidupan sehari-hari, dan juga menjelaskan hakikat hijrah dalam pandangan Islam.
Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat telah tergolong muslim. Akan tetapi, untuk dikatakan muslim yang sebenarnya (haqiqi), ia harus memiliki tingkah laku yang sesuai dengan ketentuan Islam, tanpa memilih atau membedakan syari’at yang disukai atau tidak disukai olehnya.
Tidaklah dikatakan sempurna keIslaman seseorang jika ia hanya memperhatikan ibadah ritual yang berhubungan dengan Allah SWT, tetapi melupakan atau meremehkan hubungannya dengan manusia. Dalam hadits di atas dinyatakan bahwa seorang muslim adalah orang yang mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesame muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Adapun menyakiti orang lain dengan ucapan atau lisannya, misalnya dengan fitnah, cacian, umpatan, hinaan, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh ucapan lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjadinya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengatur lisan sehingga menyebabkan orang lain sakit hati. Salah satu pepatah arab menyatakan :
سَلاَمَةُ اْلاِنْسَانِ فِى حِفْظِ اللِّسَانِ
Artinya : “Keselamatan seseorang adalah dengan menjaga lisannya.”
Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapan pun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya seiman dengan kemampuan yang dimilikinya.
Hal itu karena menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaannya sangat penting dalam Islam. Tidak heran kalau amalan sedekah akan batal jika disertai dengan sikap yang dapat menyakiti mereka yang diberi sedekah. Allah SWT berfirman.
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)…” (QS. Al-Baqarah:264)
Oleh karena itu, setiap muslim harus berhati-hati dalam bertingkah laku. Jangan asal berbicara bila tidak ada manfaatnya. Jangan berbuat sesuatu bila hanya menyebabkan penderitaan orang lain. Karena segala tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya yang artinya :
”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Q.S Al-Isra’ : 36)
Di samping itu, jika seseorang berbuat dosa kepada sesama manusia, Allah SWT tidak akan mengampuni dosanya sebelum orang yang pernah disakitinya itu memaafkannya.
Dalam hadits di atas juga diterangkan tentang hijrah, yaitu bahwa hijrah yang sebenarnya bukanlah berpindah tempat sebagaimana banyak dipahami orang, melainkan berpindah dari kejelekan menuju kebaikan.
Memang sangat berat bagi orang yang terbiasa melakukan sesuatu yang dilarang agama atau terbiasa tidak melakukan sesuatu yang telah diperintahkan agama untuk mengubah perilakunya,padahal dia mengakui bahwa dirinya beriman. Dalam hati kecilnya, ia mengakui bahwa perbuatan yang selama dilakukannya adalah salah. Akan tetapi, kalau didasari niat yang betul, semuanya akan mudah. Ia akan berpindah dari jalan yang dimurkai Allah SWT menuju jalan yang diridhai-Nya. Alah SWT pasti akan menyertai orang-orang yang ingin taat kepada-Nya dan memberikan pahala dan kebahagiaan kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya yang artinya :
”Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwa mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang yang mendapat kemenangan.” (Q.S At-Taubah : 20)
Hijrah juga dapat diartikan sebagai perjalanan panjang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Dapat juga diartikan sebagai perjalanan panjang untuk mendapatkan ridha-Nya. Untuk menempuh suatu perjalanan diperlukan bekal yang cukup. Bekal tersebut dalam Islam adalah aqidah yang kuat. Orang yang kuat imannya tidak akan mudah tergelincir pada perbuatan yang menyimpang perintah-Nya. Jika tergelincir kepada perbuatan salah, ia segera berhijrah dari perbuatan jelek tersebut kepada perbuatan-perbuatan baik, sesuai perintah-Nya.
Di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah tidak mau menyakiti saudaranya seiman. Selain itu, ia pun berusaha untuk berhijrah (pindah) dari melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah kepada perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya.

C.    Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu

عَن أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِى اللهُ عنه اَنْهُ قَا ل : قَال رَسُولُ اللهِ صلي الله عَلَيه وَسَلَمْ : مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ بِا اللهِ وَاليَوْمِ الأَخِرِ فَلْيُكْرمْ ضَيْفَهُ وَ مَنْ كَا نَ يُؤْمِنُ بِا اللهِ وَاْليَوْ مِ اْلأ خِرِفَليُحْسِنْ اِلَى إِلَى جَارِهِ , وَ مَنْ كَانَ يُؤْ مِنُ, بِا اللهِ وَ اْليَوْمِ الأَ خِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ". ( اَخْرَجَهُ الشَّيْخَان وابن مَاجَه )    
              
“Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia harus memuliakan tamunya, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia harus berbuat baik kepada tetangganya; dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dia harus berkata baik dan diam.” (HR. Syaikhani dan Ibnu Majah)

Dalam hadits di atas, ada tiga perkara yang didasarkan atas keimanan kepada Allah dan hari akhir, yakni memuliakan tamu, memuliakan tetangga, dari berbicara baik dan diam. Adapun alasan penyebutan dua keimanan, yakni iman kepada Allah dan hari akhir karena iman kepada Allah merupakan permulaan segala sesuatu dan ditangan-Nyalah segala kebaikan dan kejelekan sedangkan hari akhir merupakan akhir kehidupan dunia, yang di dalamnya mencakup hari kebangkitan, makhsyar, hisab, dan surga neraka, dan banyak sekali yang harus diimani pada hari akhirat tersebut. Dengan demikian seandainya manusia betul-betul beriman kepada Allah dan hari akhir, dia akan berbuat kebaikan dan menjauhi segala kemungkaran dan kemaksiatan.
1.      Memuliakan Tamu
Maskud memuliakan tamu dalam hadits di atas mencakup perseorang maupun kelompok. Tentu saja hal ini dilakukan berdasarkan kemampuan bukan karena ria. Dalam syariat Islam, batas memuliakan tamu adalah 3 hari tiga malam, sedangkan selebihnya merupakan sedekah.
Di antara hal-hal yang harus diperhatikan dalam memuliakan tamu adalah memberikan sambutan yang hangat. Hal ini akan lebih baik daripada disambut hidangan yang mahal-mahal, tetapi dengan muka masam dan kecut. Namun, dalam menjamu tamunya ini haruslah sesuai dengan kemampuan.
Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain:
§  Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam, dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat.
§  Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu.
§  Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
§  Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga sendiri.
§  Duduk dengan sopan
Seandainya kedatangan tamu yang bermaksud meminta tolong tentang suatu masalah atau kesulitan, sebagai seorang muslim kita harus memberinya bantuan semampunya. Apabila tamunya tidak mengatakan suatu kebutuhan, tetapi kita mengetahui bahwa tamu tersebut dalam keadaan fakir, sedangkan kita mampu, berilah bantuan apalagi kalau tamu tersebut masih kerabat.
2.      Memuliakan Tetangga
Maksud tetangga disini adalah umum, baik yang dekat maupun yang jauh, muslim, kafir, ahli ibadah, orang fasik, musuh, dan lain-lain, yang bertempat tinggal di lingkungan rumah kita. Namun demikian, dalam memuliakan mereka, terdapat tingkatan-tingkatan antara satu tetangga dengan lainnya. Seorang muslim dan ahli ibadah yang dapat dipercaya dan dekat rumahnya lebih utama untuk dihormati dari pada para tetangga lainnya.

Berbuat baik kepada tetangga itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memberikan pertolongan, memberikan pinjaman, menengoknya jika sakit, melayat jika ada keluarganya yang meninggal, dan lain-lain. Diantara akhlak yang terpenting kepada tetangga adalah:
  • Menyampaikan ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira
  • Menjenguknya tatkala sakit
  • Bertakziyah ketika ada keluarganya yang meninggal
  • Menolongnya ketika memohon pertolongan
  • Memberikan nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang ma’ruf dan lain-lain
3.      Berbicara baik atau diam
Sesungguhnya ucapan seseorang menentukan kebahagian dan kesengsaraan dirinya. Orang yang selalu menggunakan lidahnya untuk berbiara baik, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kepada kejelekan, membaca Al-Qur’an, membaca ilmu pengetahuan dan lain-lain. Ia akan mendapatkan kebaikan dan dirinya pun terjaga dari kejelekan. Sebaliknya orang yang apabila menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa dan tidak mustahil orang lain, ia akan mendapat dosa dan tidak mustahil orang lain pun akan bertaubat demikian kepadanya. Maka perintah Rasulullah untuk berkata baik dan diam merupakan suatu pilihan yang akan mendatangkan kebaikan.

Memang sangat sulit mengatur lidah agar selalu berkata baik atau diam. Akan tetapi, kalau berusaha untuk membiasakanya, tidaklah sulit apalagi kalau sekedar diam.

Orang yang tidak banyak bicara, kecuali hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak bicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan.
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ وَلِكُلَّ مَقَالٍ مَقَامٌ
“Tiap-tiap tempat ada perkataannya dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya.”
Ucapan yang baik serta bersikap pemaaf lebih baik daripada sedekah yang disertai ucapan yang menyakitkan. Allah SWT berfirman: (QS. Al-Baqarah: 253)

Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah SWT, dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata baik atau diam.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Di antara sifat iman yang wajib ialah seseorang mencintai untuk saudaranya yang mukmin apa yang ia cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, imannya berkurang.
Untuk dikatakan muslim yang sebenarnya (haqiqi), ia harus memiliki tingkah laku yang sesuai dengan ketentuan Islam, tanpa memilih atau membedakan syari’at yang disukai atau tidak di sukai olehnya. Selain itu, ia juga berusaha untuk berhijrah (pindah) dari melakukan perbuatan-perbuatan yang di larang Allah kepada perbuatan-perbuatan yang di Ridhai-nya.
Untuk kesempurnaan iman dan sebagai salah satu tanda keimanan kepada Allah SWT, dan hari akhir, seorang mukmin harus memuliakan tetangga, tamu, dan berkata baik atau diam.


B.     Saran
Sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami ucapkan terima kasih.







DAFTAR PUSTAKA
Syafe’I, Rachmat. 2000. Al-Hadis (Aqidah, Akhlaq, Sosial, dan Hukum), Bandung: Pustaka Setia.
Al Imam Al Hafizh, Ibnu Hajar Al Asqalani. 2004. Fathul Baari Syarah Shahih Al Bukhari. Jakarta: Pustaka Azzam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beriman Dengan Qadha dan Qadar Adalah Balsam Berbagai Luka

Sesungguhnya balsam berbagai luka adalah beriman dengan qadha dan qadhar. Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Sesungguhnya segal...