MAKALAH
MAQAMAT DAN AHWAL DALAM
TASAWUF
KONSEP INSAN KAMIL
DALAM ISLAM
Disusun
Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Mata Kuliah
“Tasawuf”
Disusun oleh : Kelompok IV
1.
Aprita Hamdalena
2.
Tio Susanto
3.
Evi Munalti
Dosen Pembimbing:
Drs. M. Nur Ibrahim, M.Pd
FAKULTAS TARBIYAH DAN TADRIS
JURUSAN IDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
TAHUNAJARAN 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Balakang Masalah
Tasawuf merupakan salah
satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek
rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini
seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta
mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf,
tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf
yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf
secara menyeluruh.
Tinjauan analitis terhadap
tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya
memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat)
menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap
menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat
pengenalan (ma’rifat) menjadi
jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi. Kerangka sikap dan perilaku
sufi diwujudkan melalui amalan dan metode tertentu yang disebut thariqat, atau jalan untuk
menemukan pengenalan (ma’rifat)
Allah. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh pengenalan (ma’rifat) yang berlaku di kalangan
sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka‘Irfani.
Perjalanan menuju Allah
merupakan metode pengenalan (ma’rifat)
secara rasa (rohaniah) yang
benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tidak akan tahu banyak mengenai
penciptanya apabila belum melakukan perjalanan menuju Allah walaupun ia adalah
orang yang beriman secara aqliyah. Hal ini karena adanya perbedaan yang dalam
antara iman secara aqliyah atau logis-teoritis (Al-Iman Al-aqli An-nazhari) dan iman
secara rasa (al-iman Asy-syu’uri
Ad-dzauqi).
Lingkup ‘Irfani tidak dapat dicapai
dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang.
Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’
dari hal). Dua persoalan
ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Namun perlu dicatat, maqam dan hal tidak dapat dipisahkan.
Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antar keduanya dapat
dilihat dalam kenyataan bahwamaqam menjadi
prasyarat menuju Tuhan dan dalam maqam akan
ditemukan kehadiranhal. Hal yang
telah ditemukan dalam maqam akan
mengantarkan seseorang untuk mendakimaqam-maqam selanjutnya.
Untuk itu penulis akan membahas tentang maqam dan ahwaldalam
tasawuf.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan maqamat dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf ?
2. Apa
yang dimaksud dengan ahwal dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf?
C. Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui penjelasan dari maqamat dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf.
2. Untuk
mngetahui penjelasan dari ahwal dan
tahapan-tahapannya dalam tasawuf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari
kata maqam yang
berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan
istilah stagesyang berarti
tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang
atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu
tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum
menyempurnakan maqam sebelumnya.
Tentang berapa jumlah
tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju
Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam
kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab
ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan
bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa,
al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah.
Sementara itu Abu Nasr
al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan
jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah,
al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla.
Dalam pada itu Imam
al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud,
al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.
Kutipan tersebut memperlihatkan
keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang
oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah,
al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap
tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu,
al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya
sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya
kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang
akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka,
yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla.Penjelasan
atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat berasal dari
Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang
berarti “kembali” dan “penyelesalan”.
Sedangkan pengertian taubat bagi
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan
penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan
dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh
Allah.
Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan
menjadi tiga tingkatan: (1) orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan, (2)
orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah dan (3) orang yang
bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Dari ketiga tingkatan
taubat tersebut, yang dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah
upaya taubat, karena merasakan kenikmatan batin.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan
membaca astagfirullah wa atubu
ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadah dalam rangka membuka
hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi
hingga mampu menggapai maqam yang
lebih tinggi.
Ilmu dan penyesalan,
serta tekad untuk meninggalkan perbuatan dosa saat ini dan masa akan datang,
serta berusaha menutupi perbuatan masa lalu mempunyai tiga makna yang berkaitan
dengan pencapaiannya itu. Secara keseluruhan dinamakan taubat. Banyak pula
taubat itu disebut dengan makna penyesalan saja. Ilmu akan dosa itu dijadikan
sebagai permulaan, sedangkan meninggalkan perbuatan dosa itu sebagai buah dan konsekwensi
dari ilmu itu. Dari itu dapat dipahami sabda Rasulullah Saw : " Penyesalan
adalah taubat"
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini, Yang artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.(Ali Imron: 135).
Artinya: ...dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.(An-Nur: 31)
2. Zuhud
Secara etimologis, zuhud
berarti ragaba ‘ansyai’in wa
tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zuhada fi
al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah.
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia
dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab
terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon
sufi harus terlebih dahulu menjadizahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya
dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil
apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.
Mengenai pengertian zuhd ini terdapat berbagai
variasi. Al-Junaidi berkata: “Zuhd ialah
keadaan jiwa yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai.” Ali bin Abi
Talib ketika ditanya tentang zuhd, menjawab:
“Zuhd berarti tidak
peduli, siapa yang memanfaatkan benda-benda duniawi ini, baik seorang yang
beriman atau tidak.” Dan al-Syibli ketika ditanya tentang zuhd, berkata: “Dalam
kenyataannya zuhd itu
tidak ada. Jika seseorang bersikap zuhd pada
sesuatu yang tidak menjadi miliknya, maka itu bukanzuhd, dan jika seseorang bersikap zuhd pada sesuatu yang menjadi
miliknya, bagaimana bisa dikatakan bahwa itu zuhd, sedangkan sesuatu itu masih ada padanya dan dia masih
memilikinya? Zuhd berarti
menahan nafsu, bermurah hati dan berbuat kebaikan.”
3. Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati.
Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan
konsekuen dalam pendirian. Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
tetap tenang ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran. Berdasarkan pengertian di atas, maka sabar
erat hubungannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian
emosi. Oleh sebab itu, sikap sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi
harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.
Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang
sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa
(ash-shabr an-nafs), sedangkan
menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa
sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan
seks yang berlebihan.
4. Wara’
Wara’, secara
harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Sedangkan pengertian wara’ dalam
pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik
yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya. Menurut Qamar
Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang
masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau
mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa
orang-orang wara’ dibagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi
keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati
nurani.
5. Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan
sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan
sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.[
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban.
Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak
meminta tetapi tidak menolak.
6. Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan
diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang
hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia
mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun
al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.
Al-Qusyairi lebih lanjut mengatakan bahwa
tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak
mengubah tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba
meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka
menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir
Allah.
7. Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang
dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha danqadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari
hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira.
Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat.
Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap
ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta
yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan
yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah
Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi
menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari
Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah
sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang
dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.
8. Mahabbah
Mahabbah berasal
dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang
berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada
tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha
sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah. Berkaitan
dengan konsepmahabbah, Rabi’ah
al-Adawiyah adalah peletak dasar mahabbah ini. Mahabbahdalam pandangan Rabi’ah
adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan
apapun. Cinta abadi yang tidak takut kepada apa saja, bahkan neraka sekalipun.
Sebagaimana dalam syair Rabi’ah yang berbunyi:
“Kujadikan Engkau teman percakapan hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan insani, Jasadku biar bercengkrama tulangku,
Isi hatiku tetap pada-Mu jua.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, Allah adalah
salah satu yang seharusnya dicintai dan Dialah tujuan akhir dalam pencarian
cinta yang abadi. Untuk menggapai kecintaan Ilahi, maka seorang sufi harus
melatih dirinya untuk mencintai segala keindahan alam seisinya. Karena
keindahan adalah ciri dari zat yang dicintai.
9. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata
‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman.
Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang
lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan
yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu
pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.
Adapun alat untuk memperoleh ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh.
Ma’rifat dalam pandangan al-Ghazali adalah
mengetahui rahasia Allah tentang segala yang ada. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum
ad-Din membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan antara orang awam,
ulama dan sufi.
Bagi ulama, keyakinan akan Allah dibangun
atas dasar pembuktian. Bagi sufi, keyakinan akan Allah dibangun atas dasar
dzauq rohani dan kasyaf Ilahi. Ma’rifat dalam pandangan Dzun Nun al-Misri
adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya, ma’rifat hanya terdapat
pada kaum sufi yang sanggup melihat Allah dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat
dipancarkan ke hati para sufi dengan pancaran cahaya suci Ilahi.
Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah
dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan
bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid
mereka. Lebih lanjut Syeikh mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat
bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman
hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan
alam jabarut.
B. AHWAL
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu
(keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi
secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama,
sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah
kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba
pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau
sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution
mendefinisikan hal sebagai
keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan
sebagainya.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para
sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani
seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang
dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh
melalui usaha, akan tetapi hal bukan
diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen,
sedangkan hal sifatnya
temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana
halnya dengan maqamat, dalam
penentuan haljuga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang
paling banyak disepakati adalah al-muraqabah,
al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah,dan al-yaqin. Penjelasan
tentang ahwal tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi
oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin
melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu
berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan
keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah
kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika
meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al
Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama,
hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT.
Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu
sehari-hari”.
2. Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa
takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau
Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa
sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi
dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga
tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a. Tingkatan
Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita,
perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b. Tingkatan
Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas
kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini
menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena
karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c. Tingkatan
Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf
qashir dan mufrith.
Rasulullah SAW bersabda: "Apabila
tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran
seperti daun-daun yang berguguran dari pohon".
Abû al-Layts r.a. berkata, "Allah
memiliki para malaikat di langit ketujuh. Mereka bersujud sejak Allah
menciptakan mereka hingga hari kiamat. Mereka menggigil ketakutan karena takut
kepada Allah SWT Apabila hari kiamat tiba, mereka mengangkat kepala dan
berkata, Mahasuci Engkau, kami menyembah-Mu dengan penyembahan yang
sebenar-benarnya".
Itulah firman Allah SWT: Mereka takut
kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan
(QS. an-Nahl [16]: 50). Yakni, mereka tidak berbuat maksiat kepada Allah
sekejap mata pun.
Rasulullah SAW bersabda, "Apabila
tubuh hamba menggigil karena takut kepada Allah SWT, dosa-dosanya berguguran
seperti daun-daun yang berguguran dari pohon."
3. Raja’
Raja’ dapat
berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti
sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah,
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).
Orang yang harapan dan penantiannya
mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti
harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia
sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menurut
tiga perkara, yaitu:
a. Cinta
kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut
bila harapannya hilang.
c. Berusaha
untuk mencapainya.
raja’ yang
tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga
orang yang takut (khauf). Orang
yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut
terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula
orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut
akan siksaan Tuhan.
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada
rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran,
karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang
yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya
dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan,
bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah
dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan
ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah
dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang
khusus. Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas
keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan
bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan
karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa
tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan
keagungan-Nya.[26]
5. Uns
Uns (suka
cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah
merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang
dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap
jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya
lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya.
Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada
orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan
kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan
pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu
memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau
selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan
Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
6. Musyahadah
Musyahadah secara
harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf
adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau
penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah
mencapai musyahadah ketika
sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya
dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya
tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi
senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi
memasuki tingkatan ma’rifat, di
mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya
tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.
Perpaduan
antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan
secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang
dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan
antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang
mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung
dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik,
tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang
kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.
C. KONSEP INSAN KAMIL
DALAM ISLAM
Rumi
mengatakan, sekiranya ia tidak ada, langit dan para malaikat tidak akan
memiliki tempat; sekiranya ia tidak ada, maka bumi tidak akan menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan dan mengembangkan bunga melati.
Ia dalam
pembicaraan Rumi adalah sosok insan kamil atau manusia sempurna yang telah mencapai
derajat yang paling tinggi dari kemanusiaan dan kesempurnaan dirinya dari
seluruh makhluk dan mengatasi makhluk lainnya. Ia adalah insan kamil.
Pembicaraan
mengenai insan kamil adalah pembicaraan yang menjadi titik tolak dalam
pembicaaraan tentang ciptaan-ciptaaan Allah Swt khususnya dalam dunia tasawuf
dan filsafat Islam. Karena itu pembicaraan mengenai insal kamil pada khazanah
irfan adalah sisi batin dari manusia.
Ada dua
karya besar yang berbicara mengenai insan kamil. Pertama, al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awail karya Syekh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili
(1366-1430 M) dan al-Insan al-Kamil karya Azizuddin Nasafi.
Dalam
dunia tasawuf, eksistensi selain Allah adalah eksistensi yang relatif atau
nisbi. Pasalnya, segala sesuatu selain Allah Swt adalah pancaran dari diri
Allah Swt. Disebutkan juga dalam dunia tasawuf bahwa alam semesta ini atau
segala yang berkaitan yang diciptakan oleh Allah Swt, tidak lain adalah
menifestasi dari Allah Swt. La maujudan illallah dan la mahbuban illallah dan
la maqshudan illallah.
Allah
mengambarkan semua ini sebagai tanda-Nya atau ayat-Nya seperti dikatakan dalam
ayat, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, (QS 41:53)
Mengapa
Allah mengatakan semua ini sebagai tanda bagi diri-Nya? Bukanlah hal ini adalah
riil-Nya. Namun, ia hanyalah dapat mengantarkan kita kepada pemahaman sesuatu
yang diisyaratkan-Nya dan sesuatu di balik dari semua ini tidak lain adalah
Allah Azza wa Jalla.
Karena
itu, dalam keyakinan para arif dan sufi, apa yang muncul dari alam ini adalah
wujud yang tidak nyata, hanya sebagai sebuah isyarat saja. Bahkan diri dan
eksistensi kita bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan oleh sesuatu yang lain
itu. Dari sinilah pembicaraan mengenai insan kamil itu muncul.
Pembicaraan
mengenai insan kamil ini menjadi sesuatu penting disebabkan, pertama, orang
hanya dapat mengenai hakikat Allah yang sejati melalui pemahamannya terhadap
insan kamil. Yang sebelumnya mungkin manusia mengenai Allah melalui bentuk dari
tanda-tanda-Nya atau ciptaan-ciptaan-Nya, bukan melalui hakikat yang
diisyaratkan-Nya. Hal ini disebabkan bahwa makrifat kita belum sempurna.
Para sufi
pun mengkritisi para filosof, yang berbasis pemahaman akal, dengan mengatakan
bagaimana mungkin Anda memahami cahaya Allah dengan cahaya lilin, bagaimana
mungkin pemahaman makhluk ini digandengkan dengan Tuhan. Bagaimana Anda akan
memahami cahaya matahari yang luar biasa melalui cahaya lilin? Anda harus
membuka jendela rumah Anda dan di situ Anda akan menemukan cahaya matahari yang
sesungguhnya. Anda harus mengangkat pemahaman Anda dari akal ini dan membuka
pintu hati Anda. Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ali as,
”Bagaimana mungkin engkau menyembah Tuhan yang tidak engkau saksikan?” Imam Ali
berkata, ”Bagaimana mungkin aku menyembah Dia sementara aku belum
menyaksikan-Nya?”
Dalam hal
ini, Imam Ali sudah mencapai derajat kesempurnaannya. Derajat kedekatan kita
ditentukan oleh kedekatan kita dalam mengenal-Nya.
Yang kedua
adalah kita mengenali hakikat kita yang sesungguhnya. Ke mana kita akan
berjalan atau kita memiliki tujuan dalam perjalanan hidup kita? Tujuan yang
paling mendasar dari hidup kita adalah Allah Swt. Bagaimana kita mampu berjalan
menuju Allah?
Posisi
insan kamil ini adalah orang-orang yang sudah melakukan proses perjalanan itu
sehingga ia mampu mengikuti-Nya. Kita selalu berdoa, ”Bimbinglah kami ke jalan
yang lurus.” Jalan siapa itu? Adalah jalan orang-orang yang Kami beri
kenikmatan dan mereka tidak berada dalam kesesatan.
Poin
penting ketiga adalah kita mampu melihat realitas diri Muhammad, diri para nabi
para rasul dan kekasih Allah dengan makna yang benar. Apakah pandangan mereka
salah? Dikarenakan pandangan mereka (orang awam) selama ini adalah pandangan
dalam bentuk fisiknya.
Berdasarkan
tiga poin ini maka pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi penting.
Pertama, adalah hakikat penciptaan manusia; kedua, tentang khalifah dan hakikat
insan kamil; dan ketiga, ketergantungan seluruh semesta terhadap insan kamil
dalam perjalanan menuju Allah Swt.
D.
Hakikat Penciptaaan Manusia
Bahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, ”Aku adalah pembendaharaan yang tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan.”
Bahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, ”Aku adalah pembendaharaan yang tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan.”
Allah mengisyaratkan
tentang diri-Nya dengan kata Dia (Yang Tersembunyi), dalam ketunggalan-Nya,
karena kecintaan diri-Nya untuk dikenal. Ibarat manusia yang selalu bercermin
terhadap dirinya disebabkan manusia mencintai dirinya atau sebagai dorongan
cinta terhadap dirinya dan beragam pengetahuaan manusia tentang dirinya itu
muncul. Keberagaman pengetahuan yang muncul dari diri-Nya inilah memunculkan
keberagaman hal. Allah Swt ketika memahami diri-Nya, munculnya pengetahuan
tentang diri-Nya, baru dari pengetahuan inilah, muncul alam semesta ini. Maka
Allah mengatakan, ”Maka Aku ciptakan beragam ciptaaan”, baru fase atau proses
ketiga muncul.
Setiap
kemunculan dari diri Allah itu, maka muncullah persepsi nama Allah yang indah
dan mengantarkan pada kesempurnaan. Dalam ayat disebutkan, Katakanlah: “Serulah
Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) (QS 17: 110) Karena itu,
beragam nama di sini, setiap nama ini memanifestasikannya ke alam semesta.
Setiap alam ini menunjukkan gambaran atau manifestasi nama Allah Swt.
E.
Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Rumi
“Karena
itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos,
pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.
Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.
Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa pekebun itu akan menanam pohon.
Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah
(Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”
(al-Mastnawi 4:30)
pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.
Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah
padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.
Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa pekebun itu akan menanam pohon.
Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang melahirkan buah
(Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah.”
(al-Mastnawi 4:30)
Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar.
Beliau lebih dikenal dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad
ke tujuh Hijriah. Salah satu karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya
membahas tentang banyak hal. Dalam buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha
Muthahhari mengatakan, “Matsnawi merupakan samudra filsafat dan irfan, yang
sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat spiritual, sosial
dan irfan.”
Pembahasan
tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas oleh Rumi
dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian dari
kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah mengatakan
“Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit.” Dengan
mengetahui esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan
Tuhan.
Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya
melalui alam dan dalam diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan
baik maka hidup kita pun akan baik. Allah berfirman : “Akan Kami perlihatkan
kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan) kami di ufuk (tepi langit) dan
pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran ini
sebenarnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas
tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Ankabut : 53)
Manusia
adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih
banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang
merupakan inti dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan
ma’rifatun nafs ini (pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam Ali
berkata, “Barang siapa yang mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai
puncak setiap makrifah dan ilmu.”, “Janganlah kalian bodoh dengan tidak
mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian bodoh dengan itu berarti
kalian bodoh dengan segala hal.”, “Cukuplah pengetahuan seseorang itu kalau
mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan
hakikat dirinya.”
Maulawi
Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia
mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam
bait-bait syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : “Karena itu, sementara
dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah
makrokosmos.”
Dari segi
fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di alam.
Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun
perlu untuk makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan
tidak bisa dilepaskan sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai
penunjang saja agar kita bisa bertahan hidup ? Dan alam diciptakan sebagai
penunjang dalam hidup manusia ?
Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan
fisiknya) adalah makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam
ini. Sebagaimana perkataannya Imam Ali, “Apakah kalian mengira kalian, hanya
tubuh kecil ini,padahal kalian adalah alam yang sangat besar.”Aneh memang
manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal diluar dirinya sedangkan hakikat
dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba meneropong kedalam
jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan sebuah
perumpamaan :
“Tampaknya
ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi buah.”
Beliau
umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan
harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta
demi buah, ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang
paling penting itu adalah buahnya bukan ranting atau pun pohon.
Sebagaimana
sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan tanda dari
kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih
mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam
diciptakan untuk manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai
ridha Allah.
Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan
alam, materi, kekayaan sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar
kepada Tuhan.
Dan akibat
dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan kekayaan dengan
menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk mendapatkan hal
yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam menggunakan alam.
Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah
berfirman, “Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan
menjauhkan darinya (tidak berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan,
ia (berdoa) dengan doa yang panjang.”
Tubuh kita
hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa
bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : “Kalau bukan mengharap dan
menginginkan tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon.”
Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan
buah, karena buah tidak mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat
manusia itu tidak akan bercahaya tanpa melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh
harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan ruh,jangan sampai tubuh dan
tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.
Kalau kita
pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas dari
alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh
rahasia-rahasia alam maka akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam
diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita, alam sebagai pemandu dan
pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta, sepertinya pohon
tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. “Jadi sekalipun
pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon
itulah yang lahir dari buah.”
Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat
manusia, dia baru menerangkan bahwa kita adalah alam yang lain (makrokosmos
lain) dan bukannya bagian dari alam, karena alam yang ini diciptakan demi
cintanya Allah pada manusia sebagai bukti, pengantar dan pengingat akan
kebesaran-Nya.
Hakikat manusia
dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda lewat, debu
yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya.
Debu yang
diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika debu
diinjak kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia seharusnya menjadi khalifah
di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya merupakan Tajalli
(Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi
khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah manusia yang seperti itu ?
Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah
mereka, mereka yang sudah mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah
orang-orang yang senantiasa menjaga bumi, menjaga kelestarian alam dan
penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan kita kepada Pencipta alam
yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.
Kita harus
menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah menjadi debu
di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri seperti para wali
Allah, supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas
keagungan.
“…Setiap
individu adalah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di atas
debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu agar engkau dapat menjadi
Laksana mahkota di atas kepala raja.”
Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri
ini, setelah kita mengetahui bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai
wasilah kemudian hakikat kita adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat
diri ini senantiasa ada dan terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa
menjadi mahkota di atas kepala raja ?
Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri
tapi sayang hanya sekedar isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki
standar dan ciri tersendiri yang akan selalu tampak dalam sikap dan perbuatan
kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada di air. Kita terpaku dan terpana dengan
melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal hakikat bulan ada di langit.
Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan
tentang cara untuk mencapai makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk
mencapai makrifah ini adalah dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri
dari debu keegoisan, mensucikan diri dari lumpur kemaksiatan dan mengosongkan
diri dari selain-Nya.
Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi
jiwa dengan selalu berbuat baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak
gelap.
Sehingga
dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan
senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.
Hanya
dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan
keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang
sebenarnya. Kita harus senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita
dengan pasti. Rumi bertutur :
“Oh
sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat
mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih
tanpa noda, lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa
perantara, tanpa guru.”
Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah
mengetahui dirinya, telah mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai
kepada kedudukan debu di kaki-Nya. Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada
kita cara mengetahui dan menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang
tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja harus kembali merenungi perkataan sang
maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kaki-Nya.
Akhirnya
Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah cerita, yaitu
dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia.
Dia hanya
selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin sekali
bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang
lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :
“Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di
tangannya. Ia berkata, “aku bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu
manusia, hatiku jenuh melihat sahabat patah semangat. Aku ingin melihat singa
Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : “kami telah mencarinya dalam waktu
yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, “Sesuatu yang tak ditemukan itulah
yang senantiasa aku cari.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba
dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupunmujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang
atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang
sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam
jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya
sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.
Berkaitan dengan macam-macam maqamat yang harus ditempuh oleh
seorang salik untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi memiliki
pendapat yang berbeda-beda. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Dinmengatakan bahwa
maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Sementara
itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat
hanya tujuh , yaitu al-taubah,
al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan menurut
Muhammad al-Kalabazy,maqamat terdiri
dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat,
zuhud, sabar, faqr, tawadhu’, takwa, tawakkal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.
Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi
kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik
sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian
semata.
Jika berpijak dari beberapa pendapat para
sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani
seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang
dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih
dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan
pendapat di kalangan sufi. Adapunal- hal yang paling banyak
disepakati adalah al-muraqabah,
al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.
B. Saran
Untuk
memahami ilmu tasawuf khususnya dalam maqamat dan ahwal, hendaknya
tidak hanya tertumpu pada satu literatur saja. Oleh karena itu makalah ini
semoga menjadi pemacu penyusun khususnya dan penyusun berikutnya pada umumnya
untuk lebih mendalami ilmu tasawuf, sehingga apa yang sudah dijelaskan dalam
makalah ini bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari menjadi lebih baik
sesuai dari tujuan ilmu tasawuf itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar,
Rosibon dan Mukhtar, Solihin. Ilmu
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.2004
Asmaran,
As. Pengantar Studi Tasawuf.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002
Syukur,
Amin. Zuhud Di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Syukur,
Amin. Tasawuf Kontekstual Solusi Problem
Manusia Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.2003
Tim
penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. Akhlak
Tasawuf. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press. 2011
Yusuf, Anwar Ali, Studi Agama Islam Untuk Perguruan
Tinggi. Bandung: Pustaka Setia. 2003
Fauzan,”Maqamat
dan Ahwal”, dalamhttp://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/04/maqamat-dan-ahwal.htmldiakses tgl 24/11/2012 pukul 23.08
http://sufiroad.blogspot.com/2011/12/taubat-menurut-imam-ghazali.html di akses
tgl 21 februari 2013
http://sufiroad.blogspot.com/2010/08/tauhid-dan-marifatullah.html di akses
tgl 21 februari 2013
http://sufiroad.blogspot.com/2010/12/sufi-road-takut-kepada-allah.html di akses
tgl 21 februari 2013
Nata,
Abuddin. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: Rajawali Pers. 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar