Rabu, 20 Mei 2015

Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih



BAB I
PENDAHULUAN
Dalam tradisi pemikiran filsafat islam, etrupakan salah satu aspek yang paling dominan. Tetapi tidak, sejak masuknya gelombang hallinisme dalam dunia penikiran islam, etika telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari filsafat. Tokoh-tokoh filsafat dimasa adalah juga dikenal sebagai tokoh –tokoh filsafat penggagas etika, seperti para aliran stoic (al-ruwwaiyah) ,phytagoras,galeneus,plato,socrates,dan Aristoteles sendiri bahkan tokoh-tokoh filsafat neo-platonisme,seperti platonius dan porphius adaah sumber terpenting dalam islam.
Diantara para tokoh etika islam adalah filosof ibnu maskawaih, yang dalm dunia filsafat islm dikenal sebagai guru ketiga setelah aristoteles,dan al-farabi dianggap sebagai salah seoang tokoh filosof yang menggagas filsafat etika. Semangat dan perhatianya yang begitu intens terhadap bidang ini, dimulai ketika ibnu maskawaih menjabat sebagai pejabat pada pemerintahan Adlut Al-daulah di masa kekuasaan bani Buaih.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    PEMIKIRAN FILSAFAT ETIKA IBNU MASKAWAIH
  1. Biografi Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosof muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika islam. Meskipun sebenarnya iapun seorang sejarahwan, tabib, ilmuwan, dan sastrawan. Ia banyak mengetahui tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India. Disamping pengetahuannya tentang filsafat Yunani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali-khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih, sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya yang semula beragama majusi (Persia) kemudian masuk islam, gelarnya adalah Abu Ali yang diperoleh dari sahabat Ali, yang bagi kaum syiah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat islam sepeninggalnya. Gelar lain juga sering disebutkan yaitu Al-Khazim yang berarti bendaharawan.
Maskawaih dilahirkan di Pay (Teheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda. M.M syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Margoliauth menyebutkan tahun 330 H/32 M. Abdul Aziz menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada 9 Shafar 421 H/6 Februari 1030 M.


  1. Biografi Pendidikan Ibnu Maskawaih
Riwayat pendidikan maskawaih tidak diketahui dengan jelas, Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman abbasiyah, bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar menulis, membaca al-quran, dasar-dasar bahasa arab, tata bahasa arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Semua mata pelajaran dasar tersebut diberikan di surau-surau, dikalangan keluarga yang berada, dimana guru didatangkan ke rumahnya untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Perkembangan ilmu maskawaih diperoleh dengan jalan banyak membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu al-amid.
Pengetahuan maskawaih yang sangat menonjol dan hasil banyak membaca buku itu ialah tentang sejarah, filsafat dan sastra. Hingga saat ini nama Maskawaih memperoleh sebutan Bapak etika islam, karena maskawaih-lah yang mula-mula mengemukakan teori etika dan sekaligus menulis buku tentang buku etika.
Adapun karya-karya maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Kitab Al-Fauz Al-Ashghar, tentang ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika).
  2. Kitab Al-Fauz Al-akbar, tentang etika.
  3. Kitab Tabarat Al-Nats, tentang etika.
  4. Kitab Tabzib Al-akhlaq wa That_hir Al-Araq, tentang etika.
  5. Kitab Tartib As-sa’adah, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani Abbas dan Bani Buwaih.


  1. Unsur-unsur Etika
Teori etika maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran syariat dan pengalaman pribadi. Teori etika maskawaih juga dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles. Dalam hal ini maskawaih hanya berusaha mempertemukan ajaran syariat islam dengan teori-teori etika dan filsafat. Misalnya, tentang argument Aristoteles, sedang tentang keutamaan jiwa adalah bersatu dengan akal aktif yang selanjutnya meningkat terus hingga bersatu dengan akal aktif yang selanjutnya meningkat terus hingga bersatu dengan tuhan yang diambil dari Plato.
  1. Pengertian Akhlak
Ibnu Maskawaih dalam konstruksi pemikiran filsafat etikanya sangat khas, yang melandasi konsepnya tentang bagaimana mendidik manusia. Bertolak dari pandangannya bahwa watak dan karakter manusia dapat berubah karena pengaruh-pengaruh dan factor-faktor eksternal, misalnya lingkungan yang mengitarinya atau pola-pola pendidikan yang diperolehnya.
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai berikut:
Khuluq adalah : peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dikpikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.
Dengan kata lain, khuluq adalah peri keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan-perbuatan secara spontan. Peri keadaan jiwa itu dapat merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula merupakan hasil latihan membiasakan diri. Kesimpulannya bahwa peri keadaan jiwa yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan secara spontan itu dapat selamanya merupakan pembawan fitrah sejak lahir, tetapi dapat juga diperoleh dengan jalan latihan-latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik. Dengan kata lain, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Maskawaih menetapkan kemungkinan manusia mengalami perubahan-perbahan khuluq, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan syariat, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran tentang adab sopan santun. Adanya itu semua memungkinkan semua manusia dengan akalnya untuk memilih dan membedakan mana yang seharusya dilakukan dan mana yang seharusnya ditinggalkan. Dari sini pula maskawaih memandang penting arti pendidikan dan lingkungan bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlaq.
Berdasarkan ide diatas secara tidak langsung ibnu maskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang menatakan bahwa tidak dapat berubah. Bagi ibnu maskawaih yang tercela bias berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidika dan latihan-latihan. Pemikiran seperti ini jelas sejalan dengan ajaran islam karena kandungan ajaran islam secra eksplisit telah mengisyaratkan kerah ini dan pada hakikatnya syariat agam bertujuan mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran ini jelas tidak bisa dibantah, sedangkan akhlak atau sifat bintang saja bisa berubah dari liar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.


  1. Mahabbah (Cinta)
Maskawaih memberikan perhatian khusus kepda cinta sebagai salah satu unsur etika. Cinta menurutnya ada dua macam yaitu, cinta kepada Allah dan cinta kepada manusia terutama seorang murid kepada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah, tetapi cinta tipe ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama manusia ada persamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada guru, tetapi cinta murid kepda guru dipandang lebih mulia dan lebih berperan. Guru dalah bapak rohani bagi murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki keutaman yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat kemuliaan rohani terhadap jasmani.
Mahabbah (Kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.
Objek cinta ada dua yaitu, objek hewaniah dan objek spiritual. Objek hewaniah hanya mengarahkan kepada kesenangan sesaat dan duniawiah saja, sementara objek spiritual bersifat kebaikan yang berdimensi ilahiyah dan ilmiah.
  1. Pendidikan Akhlaq kepada Anak-anak
Maskawaih juga menaruh perhatian besar terhadap pendidikan akhlaq pada anak-anak. Beliau mengatakan bahwa kejiwaan anak-anak adalah mata rantai antara jiwa binatang dan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak berakhirlah ufuk binatang dan mulailah ufuk manusia. Jiwa anak-anak berkembang dari tingkat sederhana kepada tingkat tingkat yang lebuh tinggi, semula tanpa ukuran, kemudian berkembanglah padanya kekuatan perasaan nikmat dan sakit, kemudian timbl pula kekuatan yang lebih kuat, yaitu kekuatan syahwat yang sering disebut dengan nafsu kebinatangan (bahimiyah). Dalam perkembangan berikutnya timbul pula kekuatan sabu’iyah dan ghadhabiyah. Akhirnya dalam perkembangan berikutnya lahir pula kekuatan berfikir, atau jiwa cerdas, yang ditandai dengan timbulnya rasa malu pada anak-anak. Pada tahapan ini, anak-anak dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saat inilah paling tepat pendidikan keutamaan mulai ditnamkan pada anak-anak.
Kehidupan utama pada anak-anak memerlukan dua syarat, syarat kejiwaan dan syarat social. Syarat pertama tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik, dan dapat dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat untuk cenderung pad kebaikan. Syarat kedua dapat dicapai dengan memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan dari pergaulan dari teman-temannya yang berprangai buruk.
Nilai-nilai keutamaan pada anak-anak yang harus menjadi perhatian adalah yang mencakup aspek jasmani dan rohaninya. Mengenai keutamaan jasmani harus diperhatikan makanannya, kegiatan-kegiatannya dan istirahatnya.
Nilai-nilai keutamaan rohani perlu mendapat keutamaan ekstra. Mula-mula harus ditumbuhkan rasa cinta kepada kehormatan, percaya pada diri sendiri dan memprcedas diri dengan banyak hafalan cerita-cerita yang baik dan puisi-puisi yang dapat memotivasi menuju hidup utama. Anak-anak harus dijauhkan dari bacaan-bacaan yang dekstruktif bagi perkembangan jiwanya. Maskawaih juga memandng diam, tidak banyak bicara pada anak suatu hal yang positif, dan supaya snantiasa dijauhkan dari kebiasaan berkata kotor atau tidak pantas.
Keutamaan-keutamaan dalam pergaulan bersama anak-anak yang harus ditanamkan ialah kejujuran, agar tidak mempunyai kebiasan yang berdusta, tidak mempunyai permintaan yng berlebihan, pemurah suka mengalahkan diri sendiri untuk mengutamakan kepentingan orang lain yang lebih mendesak dan yng terakhir adalah hendanknya ditanamkan rasa wajib taat, yang diharapkan melahirkan rasa wajib hormat kepada orang lain, terutama kepda kedua orang tua dan para gurunya. Menanamkan rasa wajib taat seperti itu akan berpengaruh positif pada anak-anak. Dengan demikian anak-anak akan terbiasa menahan diri, menjauhkan diri dari kenikmatan-kenikmatan hidup yang buruk, suka mendengrkan nasihat, rajin belajar, dan menghormati ajaran syariat yang dititihkan Allah.










BAB III
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Maskawaih adalah filosof besar dalam islam. Tetapi kefilosofannya tidak diraih melalui jalur pendidikan formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak sukses dan sejati.
Dan perlu dicatat di sini bahwa pengaruh filsafat yunani sangat besar merusak dalam pikirannya sehingga berkesan menomerduakan ajaran-ajaran agama.
Filsafat yunani mendapat porsi yang lebih besar dibanding porsi agama. Misalnya ketika menyebut tentang keutamaan-keutamaan moral, bukan menonjolkan nilai-nilai akhlak islam tetapi justru mengadopsi konsep plato, aristoteles, dan Galen.
Namun demikian maskawaih memiliki nilai plus dibandingkan filosof lainnya, terutama sekali dalam membahasnya tentang urgensi kenabian dan urgensi ditanamkannya endidikn agama terhadap anak-anak, nilai turunnya peradaban, bangsa-bangsa dan Negara-negara.
Untuk itu ahli sejarah harus menjaga diri terhadap kecenderungan mencampuradukan kenyataan dan rekaan atau kejadian-kejadian palsu.ia bukan saja harus factual, tetapi juga harus kritis dalam mengumpulkan data.




DAFTAR PUSTAKA
Mustafa.1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Al Jauhari, Imam Khanafie.2006. Filsafat Islam. Yogyakarta: Gama Media.
Masruri, M. Hadi. 2009. Pendidikan Islam Dari Paradigma Klasik Hingga kontemporer. Malang: UIN Malang Press.
Nata, Abuddin. 2006. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beriman Dengan Qadha dan Qadar Adalah Balsam Berbagai Luka

Sesungguhnya balsam berbagai luka adalah beriman dengan qadha dan qadhar. Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Sesungguhnya segal...